Subscribe:

Labels

Rabu, 18 April 2012

Potret Keteguhan Seorang Ulama

Yudi Elfian

Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, Hajaj bin Yusuf diamanahkan untuk menjadi Wakl Gubernur Baghdad. Namun pada waktu itu orang yang membela kebenaran dianggapingkar. Mencegah kezaliman berarti pemberontak dan mengungkapkan perasaan disebut khianat. Said bin Jubair salah seorang ulama pada masa mendapatkan cap semua itu. Mengapa demikian? Marilah kita ikuti kisah hari-hari terakhir beliau ketika menemui rabbnya.
Setelah beberapa hari dalam pencarian, akhirnya Said bin Jubair dapat ditemukan dan dibawa ke Baghdad untuk dihadapkan kepada wali yang zalim. Setiba di Istana terjadilah dialog antara bin Jubair dan Hajaj bin Yusuf.
“Siapa nama Anda?” Tanya Hajaj. “Said bin Jubair (yang bahagia anak orang yang teguh red),” jawab Said. “Tidak, nama Anda yang layak adalah Syaqiy bin Kusair (si celaka anak si pecah, red),” hardik sang wakil gubernur. Mendengar demikian, dengan tegas Said berkata, “Yang memberi nama adalah orang tuaku, bukan Anda, Anda tidak berhak mengubahnya.”
Belum lagi Said selesai bicara, tiba-tiba Hajaj mencelanya “Celakalah kamu dan ibu bapakmu yang memberi nama seperti itu.” Dijawab, “Anda tidak dapat mencela seperti itu. Hanya Allah Yang Maha Kuasa.” Hajaj marah, “Diam! Jangan banyak bicara! Saya akan kirim kamu ke neraka.” Said menyahut, “Jika saya tahu bahwa Anda berkuasa menentukan tempat di akhirat, tentu sejak dari dulu saya menyembah Anda.”
“Bagaimana pendapatmu tentang Ali bin Abu Thalib?’ “Kalau saya pernah masuk surga atau neraka, tentu saya akan katakana kepada Anda siapa saja yang saya lihat di dalamnya.” “Bagaimana pendapatmu tentang khalifah-khalifah lainnya?” “Bukan tugasku menyelidiki amalan-amalan mereka.” “Siapakah diantara mereka yang kamu suka?” “Yang paling tunduk kepada Allah.” “Menurutmu siapakah yang paling tunduk kepada Allah?” “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.” “Mengapa engkau tidak pernah tertawa?” “Hati kita tidak sama.”
Hajaj menyuruh salah seorang prajuritnya untuk mengeluarkan permata yang mahal-mahal, seperti nilam dan mutiara untuk diletakkan di hadapan Said. Melihat sikap buruk demikian, Said berkata, ”Tidak ada gunanya Anda membanggakan harta karena harta itu tidak dapat menyelamatkan diri Anda dari dahsyatnya hari Kiamat.”
Hajaj makin penasaran. Lalu diperntahkannya lagi beberapa bawahannya untuk membawa alat-alat musik dan memainkannya di hadapan Said. Namun, ia tetap tidak bergeming. Ketika itu Hajaj menjadi emosi. Dengan penuh kemarahan ia berkata, “Katakan, dengan cara apa saya harus membunuh kamu, Said?” Dengan tenang Said menjawab, “Terserah Anda. Dengan cara apa saja, yang pasti Anda akan menerima balasan yang lebih pedih di akhirat nanti.”
Setelah berpikir sejenak, lalu Hajaj mulai membujuk seraya berkata, “Apakah kamu sudi meminta grasi? Saya bersedia memberi ampunan.” “Saya hanya mau meminta ampunan kepada Allah, tidak kepada Anda.” Kesal karena tidak berhasil membujuk Said, akhirnya ia memanggil para pengawalnya seraya berkata, “Bawa dan bunuh dia!” Para pengawal dengan sigap memenuhi titah Hajaj. Namun, sewaktu mendekati pintu, Said tersenyum, Seorang pengawal memberitahukan hal tersebut kepada Hajaj. Ia pun dipanggil kembali dan ditanya, “Kenapa kamu tersenyum?” “Saya tersenyum karena heran melihat Anda berani melawan Allah.”
Para prajurit sibuk menyiapkan ntha’ hamparan kulit kerbau yang biasa digunakan untuk menampung darah dan bangkai orang yang dihukum pancung di hadapan khalayak ramai. Ketika itu Hajaj berseru, “Cepat, bunuh dia!” Said dipegang kuat-kuat, namun ia tidak melawan, malahan dengan tenang ia hadapkan wajahnya ke langit, sedangkan bibirnya tidak henti-hentinya menyebut Asma Allah. Melihat demikian, Hajaj semakin geram, lalu berkata, “Tundukkan dan tekan kepalanya!”
Said tidak peduli lagi dengan ocehan Hajaj Dengan penuh kesungguhan dia berucap, “Aku hadapkan wajaku kepada yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh keikhlasan dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.”
Setelah itu, Said memalingkan wajahnya kea rah kiblat, tapi Hajaj menyuruh para pengawalnya untuk memutar wajahnya sehingga membelakangi kiblat. Kendati demikian, ia masih sempat membaca ayat, “….. ke mana saja kamu menghadap, di situlah wajah Allah….”(QS. Al-Baqarah: 115). Hati Hajaj semakin sakit karena siksaan batin yang dideritanya. Lalu ia memerintahkan, “Tekankan mukanya ke tanah!” Mendengar demikian, Said kembali membaca ayat, “Darinya (tanah) Kami menciptakan kalian dan padanya Kami mengembalikan kalian, dan daripadanya (pula) Kami mengeluarkan (membangkitkan) kamu sekalian.” (Toha: 55)
Hajaj bertambah kalap, lalu berseru, “Cepat potong lehernya!” Seketika lehernya ditekan kuat-kuat. Pada detik-detik terakhir akan menghadap Allah, ia berdoa, “Ya Allah, saya menjadi manusia terakhir yang dianiaya Hajaj. Setelah hari ini jangan Engkau beri kesempatan baginya untuk berbuat aniaya seperti ini kepada hamba-hamba-Mu yang lain. Asyhadu alla ilaaha illallah wa asyahadu anna Muhammadar Rasulullah.”
Pedang pun dengan cepat memotong lehernya. Berpisahlah kepala orang yang shalih sesudah 49 tahun lamanya membawa jiwa yang besar. Semua yang hadir sempat tercengang karena menyaksikan kepala Said terpisah dari badannya, namun masih sempat menyebut Asma Allah dengan senyuman yang mengejek dunia. Beberapa hari kemudian, doa seorang Said diijabah Allah, Hajaj semakin disiksa batinnya hingga mengalami penyakit jiwa. Tidak beberapa lama kemudian ia mati.

0 komentar:

Posting Komentar