Dari ketinggian langit, ada pelajaran tentang ilmu ketinggian yang
diajarkan oleh alam. Tidak ada suara darinya, selain kebersahajaan.
Membiarkan burung beterbangan dalam posisi ketinggian, dan menara-menara
berdiri juga dalam ketinggian dalam definisi menara itu sendiri. Dengan
gedung-gedung di perkotaan yang juga menjelaskan ketinggiannya.
Burung-burung memiliki keterbatasan dalam kepakkan sayapnya, lalu
berhenti di dahan-dahan yang mungkin bisa ia singgahi. Melanjutkan irama
kepak sayap hanya jika hujan tidak terlalu deras yang membuat ia tidak
kuasa lepaskan butir-butir hujan yang bersemadi dalam sayapnya.
Terkadang, memang dalam jumlah sekian butir hujan yang menyusup dalam
helai-helai bulunya bisa ia tingkahi untuk tidak berhenti dan terbawa
kantuk di dahan sesaat itu. Tapi, seekor burung dalam instingnya ia juga
bermatematika tanpa mempergunakan angka.
Sedang menara-menara yang juga berada dalam ketinggian, di ujung
matanya sempat memberi jenuh pada tingkah angin malas yang hanya bisa
menghembus bersama kekuatan yang lupa ia lihat sendiri, sampai tiba
angin yang lebih kuat dan jungkalkan menara itu justru dari bawah. Sama
sekali tidak menyentuh kepala dari menara yang berbusung dada tersebut.
Mengenai gedung-gedung yang terdiri dari bangkai-bangkai pasir yang
menebarkan bau menyengat menusuk hidung. Angin bijaksana tidak
menghabiskan tenaganya untuk runtuhkan gedung tinggi pengukir
keangkuhan, kecuali sekedar jungkalkan menara baja.
Angin memainkan lakonnya persis di ujung mata burung muda di dahan
tadi, burung yang mencoba tidak terlalu pedulikan bulu-bulu baru tumbuh.
Dan ikhlaskan bulu-bulu yang menua untuk lepas dengan sendirinya. Juga,
biarkan ketidaknampakan angin bekerja dengan caranya. Sambil menanam
dalam segara keyakinan, bahwa alam bermain lakon penuh harmoni. Tidak
ada jalinan cerita yang terpecah, tak ada skenario yang tercerai berai.
Semua bermain dalam kesatuan. Lalu, jika memang alam diyakini sudah
perlihatkan seulas senyum dalam ketenangan angin dan matahari, ia
lanjutkan terbang dan ceritakan pada langit pedesaan, di atas pesawahan
sampai ke terminal-terminal perkotaan, bahwa Tuhan bekerja tanpa perlu
dikte bahwa sesuatu itu baik dan tidak.
(Diam, tetapi jangan hentikan semua yang bergerak. Lalu memilih
untuk juga bergerak dan juga biarkan semua bergerak. Karena dalam gerak
maka tumbuh kehidupan)
———–
Bekasi, 18 Juli 2010
Saat bertamu ke rumah saudara, seorang Kompasianer, Hazmi ‘Srondol’ Fitriyasa.
0 komentar:
Posting Komentar