Subscribe:

Labels

Senin, 25 Oktober 2010

POHON APEL

Pada suatu masa, hiduplah sebatang pohon apel besar dengan seorang laki-laki. Setiap hari, ia bermain-main di bawah pohon apel itu. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel yang sudah menjadi teman mainnya. Demikian pula pohon apel itu sangat mencintai anak kecil yang selalu menemaninya. Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu.

Suatu hari, ketika ia mendatangi pohon apel. Pohon apel itu tampak sedih. Ia berkata, “Ayo!mari ke sini bermain-main lagi denganku,” pinta pohon apel itu.

“Aku bukan anak kecil yang harus bermain-main dengan pohon lagi,” jawab lelaki itu. “Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya,” ucap lelaki itu lagi

Pohon apel itu menyahut, “Duh.. maaf, aku pun tak punya uang.. tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu.”

Lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu pohon apel kembali sedih karena lelaki itu tak pernah datang lagi.

Setelah beberapa waktu berlalu, lelaki itu datang lagi. Dan pohon apel pun kembali sangat senang melihat sahabat masa kecilnya datang. “Ayo bermain-mainlah denganku lagi,” kata pohon apel.

“Aku tak punya waktu,” jawab lelaki itu. “Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?” keluh lelaki itu.

“Duh.. maaf, aku pun tak memiliki rumah,” jawab pohon apel.

“Tapi, kau boleh menebang semua dahan dan rantingku untuk membangun rumahmu,” kata pohon apel selanjutnya.

Kemudian lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu lalu pergi dengan gembira. Pohon apel juga merasa bahagia melihat lelaki itu senang, namun pohon apel itu kembali merasa kesepian dan sedih karena lelaki itu tak pernah datang lagi.

Ketika musim panas tiba, lelaki itu datang lagi. Pohon apel pun menyambutnya dengan suka cita dan berkata. “Ayo bermain-main lagi denganku,” kata pohon apel.

“Aku sedang sedih,” kata lelaki itu. “Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi ku sebuah kapal untuk pesiar?”

“Duh.., maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah.”

Kemudian, lelaki itu memotong batang pohon apel itudan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi dan tak pernah datang lagi menemui pohon apel.

Akhirnya, lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian. “Maaf anakku,” kata pohon apel itu. “Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu,” tambahnya.

“Tak apa. Aku pun sudah tak memliki gigi untuk mengigit buah apelmu,” jawab lelaki itu.

“Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat,” kata pohon apel.

“Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab lelaki itu. “Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini,” kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.

“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata lelaki itu lagi “Aku hanya membutuhkan tempat untuk istirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu.”

Pohon apel diam sejenak lalu berkata lagi, “Ooohhh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.” Lalu lelaki itu berbaring dalam pelukan akar-akar pohon.

Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Cintailah orang tua kita seperti mereka mencintai kita. Sampaikanlah pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya dan berterimakasih atas segalanya meskipun kita tidak bisa membalasnya, karena kita tidak akan pernah bisa membalasnya.

0 komentar:

Posting Komentar