Subscribe:

Labels

Minggu, 02 Januari 2011

Kisah Islami Teladan Akibat Berdusta

Ada sebuah cerita tentang betapa jeleknya sikap seorang Muslim yang menghina saudaranya yang Muslim. Cerita ini dikisahkan oleh Husein Mazhairi dalam bukunya Jihad an-Nafs. Ada seorang wanita tua pergi menemui dokter.

Dia berkata kepada dokter, “Kertas resep yang telah anda berikan kepada saya telah saya rebus dan saya minum, akan tetapi kesehatan saya belum juga pulih.” Wanita tua itu tidak mengerti bahwa kertas resep itu harusnya untuk menebus obat di apotik bukannya direbus dan diminumnya.

Dokter itu kemudian berkata kepadanya, “Betapa ruginya roti yang diberikan kepada anda oleh suami anda.” Lalu dokter itu pun kembali menuliskan resep, dan menyuruh wanita desa itu pergi ke apotik untuk menebus obat dan menggunakannya, agar penyakitnya sembuh.” Kemudian tiba giliran sahabat Husein Mazhairi, sudah tidak ada orang lain selain dia dan dokter.


Ia berkata kepada dokter, “Wahai dokter, apa yang anda telah perbuat hari ini?” Dokter itu bertanya, “Apa yang telah saya lakukan?” Ia berkata lagi, “Anda tidak hanya telah melakukan satu dosa, melainkan Anda telah melakukan banyak dosa. Dosa anda yang pertama adalah memperolok seorang Muslim. Dan jika seorang Muslim memperolok seorang Muslim lainnya, serta menjatuhkan harga dirinya, maka dosa yang dilakukannya itu sungguh besar sekali.”

Kemudian ia melanjutkan perkataannya, “Adapun dosa yang kedua ialah anda telah menyebabkan orang lain menertawakan dan melecehkan wanita desa itu, sehingga dia merasa malu. Jika anda tidak mengeluarkan kata-kata itu maka orang-orang tidak akan memperolok-olokannya.

Adapun dosa anda yang ketiga adalah anda telah berdusta manakala anda mengatakan, ‘Betapa ruginya roti yang diberikan kepada anda oleh suami anda.’ Perkataan ini adalah dusta. Wanita ini tidak tahu apa yang harus dia lakukan terhadap resep obat. Darimana anda tahu bahwa dia bukan seorang istri dan ibu rumah tangga yang saleh? Dia adalah seorang istri dan ibu rumah tangga yang saleh. Oleh karena itu, perkataan anda yang berbunyi ‘Betapa ruginya roti yang diberikan kepada anda oleh suami anda’ adalah perkataan dusta.”
Dari cerita itu kita dapat melihat betapa perbuatan yang tampaknya kecil ternyata telah mengakibat dosa yang besar. Allah berfirman, “Maka jauhilah olehmu berhala yang najis itu dan jauhilah olehmu perkataan-perkataan dusta.” (QS. al-Hajj:30) Hikmah dari cerita ini salah satunya adalah bahwa kita harus mengawasi tingkah laku kita. Inilah yang membedakan antara orang yang bodoh dan yang berakal. Seorang yang berakal adalah orang yang berpikir terlebih dahulu baru kemudian berbicara; sementara orang yang bodoh adalah orang yang berbicara terlebih dahulu baru kemudian berpikir.

Perilaku seorang Muslim dalam bertindak hendaknya dilakukan dengan berpikir dulu baru kemudian berbicara. Misalnya anda adalah seorang guru, dan kemudian anda berbicara di dalam kelas yang mendatangkan musibah. Perkataan yang anda katakan itu bisa menimbulkan kekacauan pada diri seseorang dan mendatangkan berbagai musibah. Perkataan anda itu pada hakikatnya telah membunuh anak-anak murid. Karena, perkataan anda itu telah merusak kepribadiannya yang ini jauh lebih buruk dibandingkan pembunuhan jasmani.

Ada sebuah kisah yang patut kita simak bahwa dengan tidak berdusta akan berdampak pada kebaikan diri. Ketika Syaikh Abdul Kadir, tokoh sufi terkenal, berusia 18 tahun, ia meminta izin kepada ibunya merantau ke Baghdad untuk menuntut ilmu agama. Ibunya tidak menghalangi cita-cita Abdul Kadir meskipun ia keberatan melepaskan anaknya pergi jauh sendirian. Sebelum pergi ibunya berpesan supaya jangan berkata bohong dalam keadaan apapun juga. Ibunya membekalkan uang 40 dirham dan dijahit di dalam pakaian Abdul Kadir. Sesudah itu ibunya melepaskan Abdul kadir pergi bersama-sama satu rombongan yang kebetulan hendak menuju ke Baghdad.

Dalam perjalanan, mereka telah diserang oleh para penyamun. Seluruh harta kafilah tersebut dirampas, tetapi penyamun tidak mengusik Abdul Kadir karena menyangka dia tidak mempunyai apa-apa. Salah seorang perompak bertanya Abdul Kadir apa yang dia punya. Abdul Kadir menerangkan dia ada uang 40 dirham di dalam pakaiannya. Penyamun itu kemudian melaporkan kepada ketuanya. Pakaian Abdul Kadir dipotong dan didapati ada uang sebagaimana yang dikatakannya.

Pimpinan penyamun bertanya kenapa Abdul Kadir berkata benar walaupun diketahui uangnya akan dirampas? Abdul Kadir menerangkan bahwa dia telah berjanji kepada ibunya supaya tidak berbicara bohong walau apa pun yang terjadi. Ketika mendengar Abdul Kadir berbicara begitu, ketua penyamun menangis dan menginsyafi kesalahannya. Sedangkan Abdul Kadir yang kecil tidak mengingkari kata-kata ibunya betapa dia yang telah melanggar perintah Allah sepanjang hidupnya. Pimpinan penyamun bersumpah tidak akan merompak lagi. Dia bertaubat di hadapan Abdul Kadir diikuti oleh pengikut-pengikutnya.

Merebaknya kedustaan dan langkanya kejujuran inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia terjerambah dalam mega permasalahan sampai sekarang. Dewasa ini ketidakjujuran dalam beragam bentuknya nyaris dapat ditemui pada semua lapisan masyarakat dan pada semua dimensi kehidupan: politik, sosial, ekonomi, atau pendidikan.

Dalam kehidupan politik para politisi lebih terfokus pada perebutan kekuasaan, terutama menjelang Pemilu 2004 daripada mengembangkan kepedulian untuk bersama-sama memperbaiki situasi negara dan bangsa. Suara lantang mereka saat kampanye pemilu lalu bahwa mereka akan memperjuangkan nasib rakyat belum dibuktikan secara serius dan nyata sampai kini. Pada kehidupan sosial, ketidakjujuran juga telah menjadi gejala fenomenal. Kesepakatan untuk hidup damai antar-etnis, antar-agama, dan sejenisnya lebih merupakan sekadar retorika yang tidak didukung kejujuran dan ketulusan hati. Akibatnya, konflik terus berkembang dan kehidupan kian memanas.

Aspek kehidupan lain, seperti pendidikan dan ekonomi, menunjukkan secara jelas kejujuran belum dijadikan landasan mengembangkan kependidikan atau aspek yang bersifat ekonomi. Pendidikan yang berjalan sejauh ini lebih terkesan formalistik ketimbang sebagai proses transformatif. Pendidikan masih belum mampu mengakomodasi eksistensi manusia seutuhnya.

Ekonomi masih bersifat pembangunan kapitalistik yang hanya “membesarkan” sebagian kecil elite bangsa. Pendidikan rakyat atau ekonomi kerakyatan hanya gaung yang belum ada wujudnya. Semua itu mengungkapkan, kebohongan atau kemunafikan telah mendominasi-sampai derajat tertentu-kehidupan bangsa. Sedangkan kejujuran dan sebangsanya kian terpinggirkan dan menjadi barang yang hampir langka bagi “bangsa besar” ini.

Janji-janji muluk para politisi merupakan kedustaan jika mereka tidak menepatinya. Kita sebagai Muslim harus hati-hati di dalam perkataannya dengan berpikir terlebih dahulu, baru kemudian berbicara. Karena jika kita melukai perasaan orang lain maka kita akan kehilangan kecintaan dari hati-hati manusia, dan menjadi orang yang tidak disukai oleh masyarakat.

Di sinilah perang nilai-nilai agama perlu didekati kembali, dipahami, dan diaplikasikan secara utuh. Agama tidak dapat dijadikan sebagai wahana penyelamat manusia di alam eskatalogis semata. Agama perlu dijadikan moralitas kehidupan yang dapat menyelamatkan seluruh umat manusia di dunia dari kehancuran dan kebiadaban. Salah satunya adalah menegakkan sifat kejujuran, yang merupakan buah agama dari nilai-nilai tasawuf yang diajarkan para sufi sejati.

Dalam buku yang sama Husain Mazhairi menceritakan pula sebuah riwayat tentang seorang pemuda yang meninggal dunia. Kemudian jenazahnya dimandikan, dikafankan dan dimakamkan oleh Rasulullah saw. Setelah orang-orang meletakkan jenazah pemuda itu di dalam kubur, ibunya datang ke kuburannya. Lalu ibunya berkata, “Wahai anakku, sebelum ini saya bersedih atas kematianmu. Akan tetapi sekarang, setelah saya menyaksikan Rasulullah saw sendiri yang menguburkan kamu maka saya pun tidak bersedih hati lagi. Ketahuilah olehmu, bahwa kamu adalah orang yang berbahagia.”

Ketika mendengar perkataan itu Rasulullah saw tidak mengatakan sepatah kata pun. Setelah itu ibunya pun pulang. Rasulullah berkata, “Sesungguhnya lubang kubur menghimpitnya dengan himpitan yang mematahkan tulang-tulang dadanya.” Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, dia adalah seorang pemuda yang baik dan istiqamah.” Rasulullah berkata, “Benar, akan tetapi pada dirinya banyak terdapat perkataan yang tidak perlu. Perkataan yang tidak perlu adalah perkataan yang dikatakan oleh seseorang yang mana perkataan itu tidak ada manfaatnya sama sekali, baik di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya hasil pertama yang diperoleh dari perkataan yang seperti ini ialah himpitan kubur. Akan tetapi pengaruh ini adalah pengaruh yang bersifat wadh’i (pengaruh yang diletakkan karena suatu hal).

Ada peribahasa yang terkenal di kalangan masyarakat umum yang mengatakan “Perkataan benar yang tampak seperti perkataan dusta jauh lebih buruk daripada perkataan dusta yang tampak seperti perkataan benar.” Tidak demikan, sebenarnya kita harus mengatakan bahwa keduanya itu buruk. Seseorang berkata dusta dengan tujuan supaya manusia membenarkannya. Sungguh ini merupakan perbuatan yang buruk dan merupakan dosa besar. Sekalipun juga seorang suami yang berdusta di hadapan istrinya, atau sebaliknya. Demikian pula manakala seseorang berbicara benar, akan tetapi orang menolak perkataannya. Karena itu dia harus berbicara dalam bentuk yang dapat dipahami oleh akal.

Namun terkadang dalam kenyataan akal kalah dengan otot dan uang. Ini dapat kita lihat di keseharian kehidupan kita. Dalam gedung-gedung terhormat sering terdapat politik dagang sapi, sehingga mereka tidak menempatkan kepentingan masyarakat banyak di atas kepentingan pribadi dan kelompoknya. Sungguh mereka telah berdusta terhadap rakyatnya.

Dalam banyak riwayat dikatakan, sengatan ini (kata-kata yang melukai perasaan orang lain karena berdusta ) akan berubah menjadi kalajengking, ular berbisa dan serigala yang mengigit manusia di alam kubur dan juga di padang Masyhar dan neraka Jahanam. Sebagaimana perkataan Rumi dalam Matsnawi yang berbunyi, ” Dengan perantaraan sengatan lidah anda maka anda mempersiapkan serigala-serigala yang akan mengigit anda.”

Kita akhiri tulisan ini dengan sebuah doa: Ya Allah, dengan kemuliaan dan keluhuran-Mu, karuniakanlah kepada kami segenap kesadaran, sehingga kami berhati-hati di dalam perkataan kami, niat kami dan tingkah laku kami. Berikanlah taufik kepada kami untuk bisa taat dan beribadah kepada-Mu, serta mampu meninggalkan maksiat terhadap-Mu. Ya Allah, demi kemuliaan dan keluhuran-Mu, tunjukkanlah kami kepada jalan keridhaan-Mu dan cegahlah kami dari segala sesuatu yang mendatangkan kemarahan dan kemurkaan-Mu.

pelita.or.id

1 komentar:

Pat mengatakan...

Amin...
Nice article Lis:)

Posting Komentar